3.04.2011

#Day 8 - Pelajaran Berharga




Saya adalah seorang anak laki-laki yang dulu tidak diinginkan kehadirannya. Sempat akan disudahi kehidupannya. Dan walaupun akhirnya dipertahankan ibu, ayah pergi meninggalkan kami begitu saja. Tak ada bekasnya.

Ibu sangat cantik. Beliau merawat saya dengan penuh kasih sayang. Saya makan dan hidup dari hasil penjualan kue-kuenya. Walaupun susah, saya senang tinggal dengan ibu.

Suatu hari saya bertemu ganja. Umur saya ketika itu belum genap sepuluh tahun. Ganja adalah sosok ayah buat saya. Tidak pernah mengecewakan. Selalu ada kesenangan bersamanya.

Saya juga berkarib dengan video tak senonoh. Ya, hidup dengan penolakan membuat saya beringas. Koleksi saya mungkin lebih lengkap dari milikmu. Andai kita berteman, saya pasti membaginya denganmu.

Saya pun beranjak remaja. Wujud saya semakin keras. Saya tidak suka kedamaian. Saya suka mencari gara-gara lalu berkelahi. Korban yang jatuh pun menjadi sukacita buat saya. Rasanya seperti menang lotere!

Sssttt...Sebenarnya saya muak. Muak hidup dalam kepura-puraan. Kamu pasti tidak tahu rasanya jadi saya. Hati sayang berlubang besar. Bahkan hujan pun enggan mampir untuk menghibur saya.

Suatu hari saya pergi ke sebuah acara gereja. Tidak, saya tidak mengerti sama sekali. Acara-acara seperti ini hanya rutinitas buat saya. tidak lebih menyenangkan dibandingan ganja dan video porno.

Pada pertengahan acara, saya merasa sangat hangat. Saya merasakan Seseorang memeluk saya. Saya tidak kenal. Dan saya membiarkan. Rasanya berbeda dengan pelukan ibu atau opa atau oma atau ganja atau video porno. Hati saya seperti diisi penuh. Sosok ini tidak berkata apapun. Hanya memeluk. Air mata saya pun mengalir.

Seusai acara saya merasa menjadi pribadi yang baru. Tidak sama dengan sebelumnya. Ada gairah untuk hidup. Saya pulang dan menceritakannya pada ibu. Ibu memeluk saya. Kami menangis bersama. Malam itu juga saya berkomitmen untuk meninggalkan “teman-teman lama” saya.

Beberapa hari kemudian saya dan ibu duduk berdua sambil mengudap. Senang sekali rasanya menikmati sore yang sejuk bersama ibu. Saya benar-benar mencintainya. Di tengah perbincangan kami ibu bertanya. Apakah saya rindu kepada ayah. Saya terkejut. Saya gundah. Tidak tahu apa yang akan menjadi jawaban saya. Selama berada dalam air ketuban ibu hingga kini, saya tidak kenal dengan ayah. Bagaimana air mukanya, bagaimana kulitnya, bagaimana tingkahnya, saya tidak tahu! Lantas, bagaimana saya bisa rindu?

Saya diam. Sejenak menatap ibu. Lalu saya bilang padanya bahwa saya akan mencarinya.

Rupanya itulah saat terakhir saya dengan ibu. Beliau meninggalkan saya persis di hari ulang tahun saya yang ketujuhbelas. Saya sedih. Namun bangga. Saya sudah berubah. Jadi, ibu pasti senang.

Janji pun saya penuhi. Saya mencari tahu dimana ayah berada. Dari seorang kerabat saya berhasil menemukan nomor telepon ayah. Kami pun membuat janji untuk bertemu.

Siang itu langit cerah sekali. Seperti hati saya. Semangat untuk bertemu ayah sangat menggebu. Saya menunggunya di sebuah pusat perbelanjaan. Sesuai pembicaraan kami terdahulu.

Satu jam berlalu. Dua jam pun ikut berlalu. Tidak ada tanda-tanda bahwa ayah akan datang. Saya putus asa. Saya berpikir ayah memang seperti itu. Tidak bertanggungjawab. Tidak pernah peduli. Sudah lewat dari dua jam dia tidak menampakkan batang hidungnya. Ini sih lebih buruk dari penipu kelas ulung.

Saya memutuskan untuk pergi saja. Tak disangka saat saya akan beranjak, datanglah seorang lelaki berperawakan tinggi, berpakaian necis, berkulit putih, rapi sekali. Ah! Tidak mungkin. Ini pasti bukan ayah saya. begitu benak saya berkata.

Saya pun tetap melanjutkan langkah saya. sampai saya mendengar pria itu memanggil nama saya. dengan setengah yakin saya menghampirinya dan berusaha mengklarifikasi.

Ternyata benar! Dia adalah ayah saya!

Saya memeluknya dengan erat. Tidak ada sedikit pun rasa dendam yang tersisa. Kami larut dalam tangisan. Bayangkan! Saya bisa bertemu dengan ayah saya!

Kami pun bertukar cerita. Lama sekali. Sampai akhirnya kami berpisah. Ya, saya tidak ikut dengan ayah karena beliau sudah memliki keluarga yang baru. Sementara saya, sepeninggal ibu, tetap diasuh oleh opa dan oma. Tapi kami berjanji akan tetap saling menjaga.

Dua tahun sejak kejadian itu ayah saya juga dipanggil Sang Khalik. Saya bersyukur sempat mengenalnya walau sebentar. Hidup saya terasa sempurna karena Tuhan sungguh-sungguh baik.

Semoga cerita saya bisa menguatkan kamu!

-Jakarta, Maret 2011, V-

PS. Terimakasih saya untuk seorang teman yang sudah menjadikan hidupnya sebagai inspirasi. Lewat ceritanya saya belajar. God Bless You Bro!

No comments:

Post a Comment