2.28.2011

#Day 4 - Cermin


Pagi ini saya memadu kasih dengan hujan. Baunya nikmat sekali. Apalagi kalau sudah bersinggungan dengan tanah dan rumput. Enggan sekali beranjak dari peraduan.

Mantan pacar seksi versi saya membangunkan saya dengan susah payah. Bersaing dengan hujan tidaklah mudah. Tapi berhasil. Saya memang selalu jatuh cinta padanya. Jadi menuruti keinginannya untuk bangun dan segera bersiap bukanlah sesuatu yang sulit.

Saat ingin keluar dari rumah, hujan masih berkutat. Dia bilang dia masih ingin tinggal sebentar. 

Saya dan mantan pacar saya akhirnya berangkat.

Di perjalanan saya berpapasan dengan seorang petugas kebersihan paruh baya. Pria dengan beberapa kerutan tua diwajahnya itu menarik gerobak sampah yang lumayan besar untuk ukuran manusia. Saya melihatnya dengan nanar. Hujan-hujan begini beliau semangat sekali menjalankan pekerjaannya. Berkaca dalam hati adalah hal pertama yang saya lakukan. 

Dan, sore ini, saat saya menulis, saya mendengarkan sebuah lagu. 

Me in the cold with
(Everything gone)
No house no job
(Outside all alone)
Sitting trying to figure out
(Where I went wrong)
Can somebody help me
(Tell me what do I do)
Can't feed my kids need
(Money for the rent)
Bills after bills but
(Everything spent)
The enemy telling me you
(Might as well quit)
With tears in my eyes crying
(Lord please get me throught)
See that's the reason
(I just can't thank you enough no matter how hard I try Jesus I realize)It could've been me
With no clothes no shoes and no food to eat
It could've been me
Without you love Lord tell me where would I be

-Kirk Franklin, Could’ve Been-

Saya terdiam. Saya mengerti. Semua hal sudah dilakukanNya untuk saya. Terimakasih!!

Pak Petugas, semoga Anda mendengarkan suara hati saya yang tadi dibawa oleh hujan : “Terimakasih pak, sudah menjadi bayangan saya di cermin pagi ini.”



-Jakarta, Februari 2011, V-


2.27.2011

#Day 3 - Rindu


Saya rindu berat dengan Bandung.

Kenangan dengannya sangat lekat.

Padahal kamu tahu? Tidak pernah terlintas di benak bahwa saya akan pergi menemuinya.

Sebuah undangan universitas. Ya, dialah makcomblang saya dengan Bandung.

Pertama kopi darat sembilan tahun yang lalu. Tubuhnya memang dingin. Tapi hatinya tidak. Kami mulai berakrab ria sejak itu. Bandung menawarkan sejuta pesona.

Saya melewati banyak cerita dengan Bandung. Kuliah bersama di pagi hari. Makan siang ke Ceu Mumuk. Jalan kaki sore-sore sambil berceloteh. Makan surabi atau pisang bakar ketika langit sudah gelap dan berhiaskan bintang.

4 tahun lamanya kami merajut kasih. Hingga akhirnya saya harus pindah menemui Jakarta.

Jakarta tidak seperti Bandung. Dia sedikit lebih garang. Perawakannya tinggi besar pun hitam. Rambutnya bau asap kenalpot. Bahunya bungkuk, menahan kuk. Dia adalah wujud kerasnya persaingan dan keegoisan.
Pertama kali saya muak padanya. Saya tidak pernah diajak ke tempat-tempat romantis. Katanya, sudah tidak ada lagi tempat yang udaranya segar. Sibuk juga menjadi alasan dia yang lain. Belakangan saya baru tahu. Untuk tidur saja dia hampir tidak punya waktu. Kasihan. Satu-satunya yang berhasil dia berikan untuk saya adalah pekerjaan dan uang.

Hmmm..

Andai saja malam ini bisa bertemu dengan Bandung. Saya mau ajak Jakarta! Pasti seru kalau mereka juga berteman. Lagipula, Jakarta perlu rileks sedikit. Melupakan kesedihan dan pengkhianatan teman-teman terdahulunya.Yang hanya ingin mengeruk keuntungan darinya. Yang selalu melukai kaki dan tangannya untuk dijadikan perumahan elit. Yang merasakan sakit lambung karena dipenuhi oleh kendaraan berpolusi.

Ya, andai saja.

Sampai ketemu lagi Bandung. Saya sayang padamu. Oh ya, Jakarta titip salam!

-Jakarta, Februari 2011, V-



2.26.2011

#Day 2 - Berbenah


Apakah hari ini kamu berbenah?

Saya berbenah.

Bertemankan sapu. Kemoceng. Kain pel. Kain lap.

Tekun saya mencari kotoran-kotoran yang menempel pada tubuh rumah kontrakan saya.

Begitu ketemu, langsung saya bersihkan.

Saya yang setiap hari menidurinya. Menginjak-injaknya. Meletakkan apapun dalam lambungnya. Bahkan bagian belakangnya pun saya penuhi dengan barang-barang rumah tangga.

Sepanjang pekerjaan berjalan, saya memikirkan sesuatu yang lebih penting.

Apakah diri saya juga dibenahi akhir-akhir ini?

Mungkin saja sudah. Atau bisa saja belum.

Memberikan diri untuk dibenahi bukanlah perkara yang mudah.

Ada sisi-sisi yang sulit dijangkau.

Sisi kepahitan. Sisi dendam. Sisi buruknya masa lalu. Sisi kegagalan.

Usaha kita harus berlebihan untuk membersihkannya. Kita pasti enggan.

Saya tidak tahu bagaimana caramu.

Kalau saya, tinggal laporan sama KOMANDAN.

Saya bisa telepon Beliau kapan saja. Bikin janji. Nanti pasti bersih.
Karena yang punya diri saya, ya Beliau.

Sebenarnya sih, tidak tahu diri. Saya yang kotori, terus minta disapu. Minta dilap. Minta dipel. Kadang berlebihan. Minta dipakaikan pengharum segala.

Padahal saya hanya diberikan satu tugas. Menjaga supaya tetap bersih saja.

Tidak gampang. Namun saya coba setiap hari.

Selamat berbenah.



-Jakarta, Februari 2011, V-






2.25.2011

#Day 1 - Rasa Adil


Sore ini saya mencuri tulis di kubikal kantor berukuran 2x1 meter. 
Sebetulnya saya ingin lari ke tempat yang sunyi dan menulis disana.

Tadi malam hati saya biru sekali. Dan hujan tidak datang.
Saya menciptakan hujan saya sendiri. Menetes melalui mata saya. Mengalir menyusuri pipi. Lalu menguap bersama kesedihan.

Lalu tertidur.

Saya ingat pergurauan saya dengan seorang sahabat.

“Hidup ini kadang ga adil buat gw! Semua cewe bisa dengan gampangnya ngedapetin pasangan hidup, even mereka udah ga pada virgin, sering aborsi lagi. Belum lagi kalau ngeliat temen yg sudah punya pacar atau suami, tapi di belakang malah asyik-asyikan sama yang lain. Lah gw? Udah susah payah jadi perawan tingting, aktif bersosialisasi, kagak nemu-nemu jodoh juga!”

Saya pun berceloteh.

“Jangan bilang gitu ah sist, semua orang kan udah ada pasangannya masing-masing. Jodoh lu mungkin lagi dalam perjalanan kesini. Cuma doi kesininya ngendarain unta, makanya agak lama nyampenya. Santai aja lah. Saatnya bakal tiba kok.”

Kami pun tertawa lebar. Namun, saya tahu persis, sahabat saya serius merasakan ketidakadilannya.

Tadi malam saya berada di posisinya. Bukan, bukan karena saya tidak punya pasangan. Toh, saya sudah tidak lajang.

Saya merasa hidup tidak adil. Boleh kan?

Banyak orang diluar sana yang tidak perlu berjuang keras untuk hidup. Untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Tinggal merengek pada ibunya. Tinggal menadahkan tangan pada ayahnya. Tinggal memakan uang kantornya. Tinggal mengeruk kekayaan pacarnya.

Atau ada yang langsung ditumpahkan dari langit. Tidak akan habis sampai keturunan keduapuluh. Tinggal duduk santai menikmati.

Rasa-rasanya, rasa syukur saya terkikis. Mungkin karena kepala saya lebih banyak menengadah ke atas. Tanpa sudi dengan apa yang ada di bawah.

Saya memang manusia. Saya manusiawi. Kadang saya bisa bobrok. Kadang saya bisa lupa apa itu bersyukur.

Untung si syukur  cepat kembali tadi pagi. Ketika ternyata saya, masih bisa bangun dan menghirup bau embun yang baru menari-nari di atas rumput.

Oh ya, hujan juga datang! Dia tahu saya menantikannya sepanjang malam. Dia menggulung kesedihan saya. Lalu membungkusnya rapat-rapat. Supaya saya tidak bisa membongkarnya lagi.

-Jakarta, Februari 2011, V-



2.22.2011

Cinta


Kata orang bulan ini adalah bulan cinta. Semua orang berlomba mengungkapkan cintanya kepada sang pujaan hati.

Saya juga punya cerita cinta.

Ya, sudah lama sekali kami mencinta. Rasa-rasanya, sejak saya berada di dalam kandungan ibu saya, kami sudah mencinta. Hubungan kami intim. Melebihi keintiman pengantin baru yang merayakan agungnya kasih sayang. Intensitasnya seperti tarikan nafas.

Saya sudah mengenal Dia selama umur saya. Bukannya tanpa jatuh bangun. Yang aneh, porsi cinta Dia selalu lebih banyak daripada yang saya berikan. Tidak adil memang. Saya cinta kalau saya disuguhkan kesenangan. Saya cinta kalau saya dihadiahi kebanggaan. Tetapi, ketika saya dicurangi sahabat, ketika keluarga saya mengalami kesulitan, ketika pekerjaan saya memburuk , saya malah marah pada Dia dan bertanya : ”Kamu kemana saja saat saya dilukai? Kok Kamu membiarkan saya terpuruk?!!”

Terkadang saya tidak sadar, saking cintanya, Dia ingin saya maju. Dia ingin saya naik kelas. Dia ingin saya bergerak dari zona nyaman dan belajar sesuatu tentang hidup. Dan pada akhirnya Dia berhasil menunjukkan bahwa selalu ada jawaban dari setiap pertanyaan.

Bercinta dengan Dia membuahkan pengetahuan yang terkadang melampaui akal manusia saya. Selalu ada harga yang Dia bayar untuk membuat saya tidak berhenti merajut cinta denganNya. Mudah-mudahan saya bisa membayarnya kembali.

Saya menulis karena saya ingin mengingat, bahwa Dia selalu ada buat saya. Mendampingi saya dalam situasi apapun. Berjalan bersama dalam kesakitan saya. Menanggung kekhawatiran saya. Menjinjing ketakutan saya. Sehingga saya leluasa mencinta.

Oh ya, tolong selentik hati saya apabila cinta saya mulai memudar.

Selamat merayakan cinta!




-Jakarta, Feb 2011, V-