10.17.2010

Tulisan Sore Saya


Dahi saya sedikit berkerut dan bibir saya menggumam. Menggumam kecil. Menggumam bingung. Boleh dikatakan saya takjub beberapa saat akibat pandangan yang baru saja saya layangkan kepada seorang ibu paruh baya.

Cantik. Berkulit putih. Rambut warna red as brown. Postur tubuh tidak terlalu berisi. Sandangnya berwarna blue jeans, senada dengan tas bermerk yang menggantung ditangannya. Oh ya, tidak lupa juga ada sepasang high heels yang membalut kakinya.

Untuk jajaran manusia seumurnya, wanita ini dapat diperhitungkan kepiawaiannya dalam menjaga keindahan diri sebagai hawa.

Lalu, mengapa dahi saya malah berkerut? Mengapa saya tidak membulatkan mata saya dan berdecak kagum karena baru saja melihat seorang wanita yang masih pantas bersaing dengan Perawan Baru Gede?

First impression saya tentang beliau memang tidak mengandung rekayasa. Sesuai dengan deskripsi saya barusan. Tapi tidak dengan attitude yang kemudian menerbangkan semua kekaguman saya.

Saya dan beliau ada di tempat makan yang sama tadi siang. Bedanya, saya duduk dan menghabiskan makanan saya di tempat, sementara beliau hanya menunjuk menu makan siangnya untuk dibawa pulang. Saat berada di kasir, beliau terlihat bercuap-cuap menjabarkan menunya. Entah mengapa, tidak ada sedikit pun senyum yang disunggingkannya. Tidak juga raut wajah yang bersahabat. Puncak kekurangan (saya menyebutnya demikian) sang wanita cantik ini adalah ketika beliau membanting uang kepada sang penjaga kasir & mengimbuhinya dengan omelan kecil.

Saya sadar. Rupa, kekayaan, tahta, adalah unsur sakti yang mampu membawa kita melambung tinggi meninggalkan urutan-urutan strata sosial yang berlaku di muka bumi ini. Hanya saja, untuk saya, (Anda boleh setuju, boleh juga tidak) semua tidak akan ada esensinya apabila kita tidak meng-harta karun-kan secuil politeness & hospitality.

Ya, politeness & hospitality untuk siapa saja. Keluarga kita, pasangan, sahabat, teman hang out,  tukang ojek, penggenjot becak, pengemudi bajaj, pembantu rumah tangga, penyapu jalanan, pengemis, bapak polisi lalu lintas, bos besar, pemulung, atasan, bawahan, rekan sejajar, penjaga kasir, dan seterusnya, dan seterusnya.

Saya bukan manusia yang sepenuhnya benar. Atau sudah sepenuhnya melakukan apa yang benar. Namun, saya akan berpartisipasi dalam kemirisan ketika masih ada orang yang mungkin merasa rugi beramahtamah dengan orang lain. 

Kita tidak akan pernah tahu kemana arah dunia ini berputar. Kita tidak akan pernah tahu siapa jadi siapa di masa yang akan datang. Kita bahkan tidak dapat tahu dan memecahkan misteri kehidupan kita sendiri. Karena kita hanyalah makhluk yang diberikan anugerah untuk menikmati hidup dan membagikannya selagi kita mampu.

Berbagilah. Walau hanya sesungging senyum. Walau hanya sepercik keramahan. Walau hanya secarik penghargaan. Walau hanya seutas keceriaan. 

Ya, berbagilah, karena berbagi itu tidaklah susah.


-Jakarta, Oktober 2010, V.-