12.02.2010

Cepatlah!


Melihatmu bergerak. Menciptakan lambaian. Mengetuk-ngetukkan kaki. Menggapai-gapai dinding rahimku. Aku terpana melihat keajaibanmu. Malaikat kecilku yang seolah menari.

Kamu membuatku tak dapat menahan buliran air mata ketika kamu menyapaku. Aku dapat merasakan bahwa kamu mencintaiku. Malaikat kecilku yang sedang bersenang-senang di dalam alam ketubanku.

Aku akan terus menantimu. Sampai saatnya tiba. Kamu akan aku sapa di setiap detik yang aku miliki. Aku akan menjaga dan merawatmu selagi nafasku ada.

Malaikat kecilku, cepatlah datang, mama dan papa menunggumu dengan senang hati.


-Jakarta, December 2010, V-

Memori


Hari ini, saya memutar kembali rekaman suara saya sendiri. 5 buah kidung yang saya kumandangkan untuk kekasih hati saya.

Hmmm…tidak terasa sudah lama kami bersama. Melewati berbagai suasana. Tahun 2003 adalah awal, dan akan berakhir hingga kami meninggalkan dunia.

Bagai kembali ke masa lampau. Menikmati memori yang sudah dilewati.

Dan kami sudah berada di titik ini. Titik dimana kami sudah menjadi satu dan bahkan akan ditambahkan seorang malaikat kecil.

Abrianto Ascein Gultom, I will love you until the end, you are the songs of my heart.




PS : Yippy! Saya akan bertemu malaikat kecil saya hari ini.



-Jakarta, December 2010, V-

12.01.2010

I'll be (not) home for Christmas


I'll be home for Christmas
You can count on me
Please have snow and mistletoe
And presents under the tree
Christmas Eve will find me
Where the love light beams
I'll be home for Christmas
If only in my dreams

Hari ini adalah hari pertama di bulan Desember. Bulan terakhir di tahun 2010. Biasanya lagu ini saya senandungkan dengan riang.

Gaung natal sudah mulai berkumandang. Di setiap pertokoan yang saya jumpai juga mulai bertebaran pernak pernik natal. Seolah-olah menyapa dan berkata “Hai! Natal sudah dekat loh!”

Sedih rasanya tahun ini saya tidak dapat menginjakkan kaki di kampung halaman. Natal bersama keluarga besar seperti tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini adalah tahun pertama saya bersama seorang suami dan cikal bakal putra saya.

Bahagia memiliki keluarga yang baru, sudah pasti. Namun, rasanya ada saja yang kurang apabila saya tidak pulang. Mungkin perasaan yang sama juga dirasakan oleh papa mama saya. Karena tahun ini adalah tahun pertama mereka tanpa anak perempuan tertuanya.

Tidak ada yang perlu disesali sebenarnya. Mungkin saya sekadar terbawa suasana hati.

So, I’ll (not) be home for Christmas.

Semoga natal di tahun ini membawa sukacita untuk siapa saja. Termasuk saya dan keluarga.


-Jakarta, December 2010, V.-



11.29.2010

Dingin


Udara siang ini begitu dingin. Berbeda dengan udara tadi pagi ketika saya beranjak ke kantor.

Saya merasa sedikit lelah. Tidak tahu apa sebabnya. Yang pasti, hari ini saya sudah memuntahkan isi perut saya sebanyak 2 kali di toilet kantor yang berukuran 2x2 meter.

Kata orang bawaan bayi. Morningsick. Apapunlah, yang penting saya menikmatinya.

Belakangan ini saya ingin sekali bernyaman-nyaman di rumah orangtua saya. Berada jauh dari rutinitas, keriuhan, kemacetan, juga polusi. Sayangnya, tidak mungkin saya realisasikan dengan mudah.

Saya merindukan masa kecil saya. Tidak merasakan beban. Tidak peduli dengan pikiran besok harus makan apa, pakai baju apa, tinggal dimana. 
Tidak gerah dengan bobroknya negara. Tidak pusing dengan deadline. Tidak penat dengan tuntutan hidup.

Udara siang ini cukup dingin. Sedingin hati saya yang ingin diletakkan di kampung halaman tercinta.

Saya hanya ingin pulang. Sebentar saja.



Jakarta, November, V.

11.26.2010

Mendung


Mendung. Petir. Hujan.

Mereka kadang-kadang berteman, kadang-kadang tidak.

Biasanya saya suka sekali dengan hujan. Tapi tidak untuk kali ini. Hujan membawa serta mendung & petir di dalam hati saya.

Tidak enak rasanya kalau harus dipaksa membuka rentetan memori busuk.
Karena, siapakah saya, yang dapat dengan mudah menghapusnya dari rekaman peristiwa dalam otak.

Pikiran saya pun melayang, susah sekali rasanya mengampuni sosok yang satu ini, mengingat fitnahannya, mengingat kebohongannya, mengingat mulut manisnya, mengingat kecurangannya, mengingat kelicikannya, mengingat ketidak-ingin-kalahannya, mengingat kepicikannya, mengingat kemunafikannya, mengingat ke-sok-suciannya, mengingat ketidakhormatannya kepada orangtua saya.

Terlalu banyak yang pahit dibandingkan yang manis. Terlalu banyak yang tidak ingin saya ingat. Namun, semakin saya pergi beranjak menjauh, semakin sering saya lekat dengan memori itu.

Sakit hati. Ya. Pasti. Amat sangat.

Minggu depan dia akan menikah dengan pria idamannya. Menikah setelah meninggalkan pacar setianya selama 8 tahun. Yang mungkin jadi korban kebohongannya juga, lalu dibiarkan begitu saja dengan mengarang berbagai alasan supaya terlihat benar bahwa hubungan mereka harus berakhir. Tapi, akh, saya toh tidak ingin peduli juga dengan urusan mereka. Hanya kasihan. Juga berharap pria yang akan dinikahinya tidak akan bernasib sama dengan pria sebelumnya.

Saya diundang untuk hadir. Ya. Karena saya adalah istri dari sepupunya sendiri. Apakah saya harus datang? Jawabannya juga ya. Tentu saja bukan karena dia. Semua saya lakukan hanya karena saya amat sangat menghormati suami & keluarga suami saya. Terutama orangtua.

Saya hanya tidak ingin datang kesana dan menertawakannya. Menertawakan senyum palsunya. Mudah-mudahan dia sudah berubah. Tidak seperti sosok menyebalkan yang saya kenal dulu. Yang senang berbasa-basi semanis gulali, padahal di belakang bisa saja tiba-tiba menikammu.

Ya. saya mungkin agak sedikit kasar. Atau memang kasar. Tapi tidak sebanding dengan yang pernah dia lakukan kepada saya dan keluarga. Melakukannya begitu saja, dan membiarkannya menguap seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Tanpa peduli apa akibatnya.

Dan kali ini saya memang hanya ingin berbagi dengan kamu, kertas kosong yang akhirnya saya penuhi dengan tulisan. Hanya ingin menumpahkan kekesalan di dalam hati. Yang nyatanya belum bisa terhapus bagus.

-Jakarta, November 2010, V.-




















11.24.2010

9 Weeks

Tiba-tiba saja saya bahagia, ketika tanpa sengaja memandangi kalender di meja.
Kalau perhitungan saya tidak salah, hari ini kandungan saya berumur 9 minggu.

Mari flashback sedikit :)

28 Oktober 2010, adalah hari bersejarah bagi saya & suami. Betapa tidak, alat test kehamilan yang saya gunakan menunjukkan 2 garis horizontal, yang menyatakan bahwa status saya akan berubah menjadi seorang ibu.

Saya menitikkan air mata. Setelah menunggu hampir 8 bulan setelah pernikahan saya, barulah tanda ini hadir.
2 November 2010, saya pergi ke sebuah rumah sakit untuk memastikan apakah saya benar-benar mengandung atau tidak. Dan jawabannya adalah ya!

Tidak dapat saya gambarkan bagaimana rasanya saat melihat cikal bakal buah hati saya di dalam sebuah mesin yang dipanggil USG. Kecil sekali, seperti biji kacang di dalam sebuah kantung. Ini merupakan pengalaman yang luar biasa ketika saya menyadari bahwa ada sesosok makhluk hidup yang sedang hidup dalam tubuh mungil saya.

Saya menjalani berbagai keadaan sampai hari ini. Tidaklah mudah. Namun saya rela melakukannya demi sang generasi. Jadwal pagi saya diisi oleh mual dan muntah. Kadang sampai siang atau sore atau malam. Emosi menjadi tidak begitu stabil. Makan apapun menjadi tidak begitu nikmat. Tetapi, saya menikmatinya.

Setiap pagi dan malam, saya, juga suami, berdoa untuk kesehatan & kesempurnaan si kecil. Saya selalu percaya, ketika Sang Khalik menganugerahkan saya pemberian yang luar biasa ini, Dia pasti menjaganya. Karena saya awam, yang punya keterbatasan.

Saya akan selalu menantikan kehadiranmu kecil...Dan saya terlalu sayang padamu...

Jakarta, November 2010, V.




10.17.2010

Tulisan Sore Saya


Dahi saya sedikit berkerut dan bibir saya menggumam. Menggumam kecil. Menggumam bingung. Boleh dikatakan saya takjub beberapa saat akibat pandangan yang baru saja saya layangkan kepada seorang ibu paruh baya.

Cantik. Berkulit putih. Rambut warna red as brown. Postur tubuh tidak terlalu berisi. Sandangnya berwarna blue jeans, senada dengan tas bermerk yang menggantung ditangannya. Oh ya, tidak lupa juga ada sepasang high heels yang membalut kakinya.

Untuk jajaran manusia seumurnya, wanita ini dapat diperhitungkan kepiawaiannya dalam menjaga keindahan diri sebagai hawa.

Lalu, mengapa dahi saya malah berkerut? Mengapa saya tidak membulatkan mata saya dan berdecak kagum karena baru saja melihat seorang wanita yang masih pantas bersaing dengan Perawan Baru Gede?

First impression saya tentang beliau memang tidak mengandung rekayasa. Sesuai dengan deskripsi saya barusan. Tapi tidak dengan attitude yang kemudian menerbangkan semua kekaguman saya.

Saya dan beliau ada di tempat makan yang sama tadi siang. Bedanya, saya duduk dan menghabiskan makanan saya di tempat, sementara beliau hanya menunjuk menu makan siangnya untuk dibawa pulang. Saat berada di kasir, beliau terlihat bercuap-cuap menjabarkan menunya. Entah mengapa, tidak ada sedikit pun senyum yang disunggingkannya. Tidak juga raut wajah yang bersahabat. Puncak kekurangan (saya menyebutnya demikian) sang wanita cantik ini adalah ketika beliau membanting uang kepada sang penjaga kasir & mengimbuhinya dengan omelan kecil.

Saya sadar. Rupa, kekayaan, tahta, adalah unsur sakti yang mampu membawa kita melambung tinggi meninggalkan urutan-urutan strata sosial yang berlaku di muka bumi ini. Hanya saja, untuk saya, (Anda boleh setuju, boleh juga tidak) semua tidak akan ada esensinya apabila kita tidak meng-harta karun-kan secuil politeness & hospitality.

Ya, politeness & hospitality untuk siapa saja. Keluarga kita, pasangan, sahabat, teman hang out,  tukang ojek, penggenjot becak, pengemudi bajaj, pembantu rumah tangga, penyapu jalanan, pengemis, bapak polisi lalu lintas, bos besar, pemulung, atasan, bawahan, rekan sejajar, penjaga kasir, dan seterusnya, dan seterusnya.

Saya bukan manusia yang sepenuhnya benar. Atau sudah sepenuhnya melakukan apa yang benar. Namun, saya akan berpartisipasi dalam kemirisan ketika masih ada orang yang mungkin merasa rugi beramahtamah dengan orang lain. 

Kita tidak akan pernah tahu kemana arah dunia ini berputar. Kita tidak akan pernah tahu siapa jadi siapa di masa yang akan datang. Kita bahkan tidak dapat tahu dan memecahkan misteri kehidupan kita sendiri. Karena kita hanyalah makhluk yang diberikan anugerah untuk menikmati hidup dan membagikannya selagi kita mampu.

Berbagilah. Walau hanya sesungging senyum. Walau hanya sepercik keramahan. Walau hanya secarik penghargaan. Walau hanya seutas keceriaan. 

Ya, berbagilah, karena berbagi itu tidaklah susah.


-Jakarta, Oktober 2010, V.-


9.28.2010

Missing Them A Lot






Si Marah


Semua manusia biasa dapat mengalami rasa marah dan melakukan kemarahan. Marah atas apa saja, marah dengan siapa saja, marah dimana saja. Marah karena ketidakdilan, marah karena adanya ketidaksesuaian, marah karena adanya pengkhianatan, marah karena tidak adanya kesepakatan, dan seterusnya, dan seterusnya.

Kemarahan mengundang peningkatan denyut jantung, tekanan darah, juga adrenalin. Ekspresi beragam pun dilahirkan atas jenis emosi yang satu ini.     

Saya yakin, beberapa diantara kita (termasuk saya juga tentunya), pernah memelihara Si Marah hingga bertahun-tahun lamanya. Saya tidak tahu apa yang Anda rasakan saat menampung Si Marah. Kalau saya, rasanya benar-benar campur aduk. Ada rasa puas karena dapat melampiaskan apa yang menjadi ketidaksukaan saya, ada rasa riang karena dapat membagikan ketidaksetujuan saya, tetapi ada juga ada rasa dimana saya merasa jengah karena harus memberikan spasi untuk Si Marah tinggal dan menguasai hati nurani.

Teman-teman saya pernah berbagi cerita.

Teman pertama, memutuskan memelihara Si Marah saat tahu kekasihnya meninggalkan dia untuk laki-laki lain. Teman kedua, melakukan hal yang sama ketika memergoki ibunya sedang bergandengan mesra dengan lelaki seumurnya. Teman ketiga, mengundang Si Marah saat kontrak kerjanya diputuskan tiba-tiba juga sepihak oleh atasan yang takut tersaingi. Teman keempat, dikhianati teman baiknya sendiri. Bahkan kisah teman kelima yang mengakrabi Si Marah sejak kisah cintanya tidak disetujui orangtua hanya karena perbedaan suku, sehingga kemudian dia menikah dengan lelaki pilihan orangtua yang sama sekali tidak dicintainya.

Peran Si Marah memang hebat. Dia mampu merayu manusia hanya dalam hitungan jentikan jari untuk disimpan. Lalu menjadi parasit. Lalu menyedot semua sugesti positif. Lalu membuat keterpurukan.

Saya belum punya nyali yang cukup untuk menyatakan apakah bersahabat dengan Si Marah adalah hal yang amat sangat benar jika dilakukan pada porsi yang pas. Saya juga belum mengumpulkan keberanian untuk mengatakan “Usirlah Si Marah!”, karena saya boleh dikategorikan sebagai orang yang sulit memaafkan kesalahan yang sifatnya keterlaluan. Yang saya rasakan hanyalah : lambat laun, lepas dari benar atau tidak, Si Marah pasti membuat kita rugi.

Pilihan memang selalu ada di tangan kita. Saya percaya, saya dan Anda selalu berusaha untuk marah dengan benar dan sesuai pada tempatnya. Lalu beranjak cepat meninggalkan kemarahan sebelum matahari terbenam, sehingga dia tidak punya waktu untuk menggerogoti kita.

Have an extraordinary day.


Jakarta, September 2010, V.


9.27.2010

Pertaruhan (At Stake)

Sesaat, saya dan beberapa sahabat agak pesimis pada tiket yang akan kami beli di sebuah bioskop, karena ternyata hanya sedikit calon penonton yang mengantri di barisan yg sama dengan kami.Kami sempat berasumsi bahwa mungkin film ini tidak begitu menarik untuk ditonton, walaupun pada akhirnya kami memantapkan niat untuk tetap membelinya.

Ya, kami memang bermaksud untuk menonton sebuah film, film dokumenter (koreksi ya kalau saya salah), yang bercerita tentang keberadaan perempuan di Indonesia.

Judulnya Pertaruhan (At Stake).

Sebuah film antologi dokumenter yg menceritakan empat kisah bertema politik dan wacana tubuh perempuan di Indonesia yg diangkat oleh lima sutradara.
Kisah pertama menceritakan tentang praktek sunat perempuan, cerita berikutnya di Gunung Bolo mengangkat cerita dua perempuan yg terpaksa menjadi pekerja seks komersial di malam hari di kuburan Cina dan menjadi pemecah batu di siang hari untuk menghidupi keluarga mereka.

Film lainnya mengangkat cerita ttg tiga orang perempuan tidak menikah yg memperjuangkan hak mereka mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi, sementara bagian terakhir melihat dilema dua TKW di Hongkong dengan permasalahan yg berbeda. Perempuan yg pertama harus memilih antara keperawanan sebelum menikah atau pemeriksaan internal yg dapat merusak keperawanan, sementara perempuan yg kedua masih bingung untuk menjelaskan hubungannya dengan sesama buruh migran perempuan saat mereka kembali ke Indonesia nanti.

Buat saya pribadi dan sahabat, film dokumenter ini sangat-sangat menyentuh hati kecil kami, betapa tidak, perasaan kami benar-benar miris saat melihat seorang perempuan yg bekerja sangat keras untuk kelangsungan hidup anak-anaknya dengan cara mengorbankan apapun, termasuk tubuhnya sendiri untuk dijual.
Bersyukurlah bahwa kita masih diberikan kehidupan yang layak untuk dinikmati.

Sep, 2010, V.

More than thanks :

**To my lovely mom n mom in law : I love u both so much, more than everything, you are the queens of my heart. Terimakasih sudah menjadi tempat perhentian disaat saya berlari mencari kasih sayang.

**To every women : Berbahagialah hai wanita, karena Tuhan sudah menciptakan kita sebagai pribadi yg sempurna, yg selalu sepadan dengan pria.

**To Mas Bo, Japir, Pindut, Mbak Derry, Mas Tirta, Lutfi : Thanks ya guys, akhirnya kita bisa nonton bareng nih film (karena ga kesampaian di Jiffest  :)  ), harusnya bapak SBY nonton film ini yak! daripada heboh nonton Ayat-Ayat Cinta (piss ah, hehehe).

**Terimakasih sudah boleh mengutip, Film Dokumenter Terbaik dan Terfavorit di Workshop Dokumenter Think.Act.Change, The Body Shop 2008.

Dilemma

15.02.09…

23 : 00 : 27…

text messaging…



cewe 1 : sorry ganggu, gw baru inget sms lo yg satu lg, waktu itu belum sempet dibales. 1st of all, sms lo kemaren n status di fb lo itu gw anggap JUST ANOTHER BIG BULLSHIT, sorry gw kasar tp setidaknya gw jujur sama lo kalo gw ga suka sama anekdot-anekdot lo itu …2nd, thank’s buat semua yg udah lo buat ke gw, mau yg manis or yg pait sekalipun. sampai hari ini pun gw ga nyangka lo bisa jadi pribadi yg kayak gitu…so, gw cuma pengen bilang : congratulation. oya, next time, pls don’t talk to me anymore, gw ga nyaman berbasa basi ama lo soal care dan lain-lain karena tetp aja buat gw itu BIG BULLSHIT and gw udah nyaman di zona ini. Finally, good bye to you my ex-friend, terimakasih banyak udah ngajarin gw soal semua kebohongan dalam persahabatan yg lo bilang persahabatan itu. have fun then, bye…

cewe 2 : separah itu gw di mata kamu…? tx untuk penilaian kamu, termasuk kamu udah males ama gw, sori kalo gw udah kasih pengalaman pahit ama kamu, tx untuk semuanya…

(masih) cewe 2 : kebohongan apa bu? kalo emang pengen pisah, baik-baiklah…ada apa sihh? kasitau gw…gw cuma minta waktu 5 menit , pls kasitau gw, angkat telpon gw, ga janji ga bakalan ganggu kamu lagi…

(masih) cewe 2 : V**, gw terima kalo lo ga mau lagi temenan ama gw, tp pls kasitau apa dosa terbesar gw, kluar sebentar, gw pengen ketemu, setelah itu gw janji ga akan ganggu hidup lo lagi…

cewe 1 : lo yg mulai kan? so, nikmati aja buahnya…okay…??udahlah…kayak yg sering lo asumsikan aja, semua orang sekarang sudah sibuk masing-masing..ok…gw mau tidur *ed…thx ya…

cewe 2 : v** gw tau lo belum tidur, gw ga bisa cari tau sendiri, pls kasitau gw ama kesalahan gw apa, omongin dong ama gw, gw berharap banget bisa kelar malam ini…

cewe 1 : just figure out yourself, lo yg mulai, lo yg cari tau sendiri, klo udah ketemu anggap aja jd pelajaran buat kita bersama, gw ga pengen ada conversation lg, that’s it, it’s over…
gw emang belon tidur, tp kan gw udah bilang, gw ga mau lg ada conversation lg, ga semua bisa mewujudkan apa yg jd kepengennya lo, termasuk buka pintu lagi…so, admit it…

cewe 2 : ya ampunnn v**, kesalahan gw parah bgt ya?? kasitau kesalahan gw…lo bilang gw tukang boong…kenapa???gw ga suka cara lo ngedepak gw…tp kalo emang itu pilihan lo, gw terima, gw ga punya pilihan…kalo lo pengen gw ga ganggu hidup lo lg, gw akan berusaha…tx v**…

cewe 1 : ga suka cara ngedepak lo? hehehe…lucu!!! enak banget lo bilang ga enak dengan cara gw…kemana aja lo?? bukannya cara yg sama lo pake duluan? wew…bye…

end of texting…



Mengenang dilema besar yang pernah dialami saat harus merasakan dua rasa sekaligus, rasa kehilangan sahabat & rasa sakit yg dilahirkannya.


9.24.2010

Perempuan Oh Perempuan

Saya baru saja menyelesaikan beberapa buku untuk dibaca dan beberapa film untuk ditonton.

Selalu ada yang menarik perhatian saya apabila ceritanya menyangkut ttg kehidupan perempuan.

Saya lagi suka banget sama bukunya Djenar Maesa Ayu. Sudah lama saya tau keberadaannya di dunia sastra (cerpen terutama), tetapi baru saja saya melengkapi koleksi buku & film saya dengan karya beliau. Karya-karyanya yang berani dan bahasanya yang cenderung frontal membuat saya ‘jatuh cinta’.

Mereka Bilang,Saya Monyet!; Nayla; Cerita Pendek ttg Cerita Cinta Pendek; Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) adalah buku beliau yang sudah berjejer di rak buku saya.

Kebanyakan buku beliau bercerita ttg perempuan, pelecehan seksual (kepada perempuan), gambaran ketidakharmonisan dalam keluarga, fenomena dunia malam beserta hubungan jenis yang masih tabu dibicarakan, dll.

Concern yang selalu saya nikmati dan mengambil perhatian lebih bagi saya. Ya, Perempuan.

Bagi saya pribadi, di Indonesia, masih banyak kasus ketidakadilan bagi perempuan. Entah itu kasus TKW yang dianiaya majikannya, anak perempuan yang jadi korban ganas si pedophilia, korban-korban aborsi para peleceh seksual, istri-isti yang dengan rela membiarkan pasangan mereka membawa perempuan lain untuk di’nikmati’, atau istri-istri yang terpaksa mengidap HIV AIDS karena perilaku suami yg nyeleneh, dst dst.
Sebagai seorang perempuan dan seorang istri, terkadang saya bergidik ngeri apabila membayangkan hal-hal di atas terjadi pada saya (amit-amit sih). Namun, di sisi lain, saya amat sangat prihatin. Apakah sudah sampai di titik serendah itukah derajat perempuan? Yang tidak lebih dari sekedar pemuas mata & nafsu? Yang tidak lebih dari sekedar pelayan di sumur, kasur, dan dapur? Yang tidak lebih dari subordinasi para lawan jenisnya? Saya sendiri belum punya nyali untuk menjawabnya.

Sampai pada menit ini, yang bisa saya lakukan adalah bersyukur atas ‘kehidupan perempuan’ yang diberikan Sang Khalik untuk saya. Punya paras yg lumayan menarik (ini sih kata suami saya, hehe), tubuh yang normal dan tidak kekurangan suatu apapun, keluarga yang hangat, suami yang luar biasa baik, juga pekerjaan yang bisa menggerakan roda dapur saya supaya tetap ngebul.

Dan sampai pada menit ini, yang bisa saya lakukan lagi adalah berdoa untuk sesama saya perempuan, untuk keadaan mereka di luar sana, untuk hak yg sedang mereka perjuangkan, untuk kejatuhan yg sedang mereka alami, dan untuk ketidakadilan yg sedang mereka terima.


“Woman was created from the ribs of man. Not from his head to be above him. Not from his feet to be walk upon him. But from his side to be equal, near to his arms to be protected, and close to his heart to be loved…” -unknown-

Sep 2010, V.


Boleh Bu, Boleh...

Tadi malam (seperti malam-malam sebelumnya), saya pulang dari kantor bersama pria yang sudah menjadi teman tidur resmi saya selama hampir 7 bulan ini.Kami melewati jalan-jalan padat merayap yang menghiasi keletihan ibukota.

Sambil menunggu giliran kami untuk meneruskan perjalanan yang mengantri sedari tadi, saya bergumam, saya dan Sang Hati tepatnya. Saya ingin sekali berhenti dari rutinitas dan mengerjakan hal-hal yang baru diluar pekerjaan & kegiatan yang selama ini saya jalani.

Secara egois saya bercerita kepada Sang Hati. Apa yang saya dapat dgn bangun tiap pagi, menundukkan kepala sebentar berkomat-kamit mengucapkan syukur karena sudah dijagaNya, mandi, menyandangkan pakaian, menyiapkan sedikit kudapan, lalu berangkat ke gedung berlantai 8 di jajaran Jakarta Pusat. Tidak berhenti di situ saja, sesampainya di kantor, bekerja, makan siang, bekerja lagi, makan malam, pulang, melewati jalan yg sama seperti waktu pergi dari rumah, tiba di rumah, kadang-kadang mandi kadang-kadang tidak, mengganti sandang, browsing atau menonton film atau membaca karya penulis-penulis hebat, berdoa berdua memohon perlindungan sang Khalik, lalu terlelap hingga tidak tahu bahwa matahari sudah mengintip disela-sela kaca jendela.

Ya, hampir setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, setiap tahun, selalu berulang, menghantarkan sejumput kejenuhan, memproklamasikan segelintir kebosanan.

Sang Hati diam saja, tekun mendengarkan dan tidak mencoba untuk menjawab. Mungkin dia sedang berempati dengan apa yg saya rasakan.

Saya sedikit tersentak, ketika ada seorang pengemudi sepeda motor yang mencoba mengambil alur kami dengan kasar. Lamunan saya buyar, percakapan saya dengan Sang Hati pun terhenti.

Sesampainya di rumah saya memang melakukan hal-hal 'kerumahan' saya. Hanya saja, malam ini saya harus menambah 1 daftar pekerjaan yg sebetulnya tidak saya rencanakan sebelumnya.

Saya pergi ke tempat pembuangan sampah sementara yang tidak terlalu jauh dari rumah kami. Sambil membawa beberapa sampah basah yg saya tenteng di dalam plastik, saya juga mengikutsertakan kardus-kardus bekas hadiah pernikahan kami.
Sewaktu saya ingin meletakkan sampah-sampah itu, saya bertemu dengan seorang ibu paruh baya, menggunakan pakaian yg lusuh, dan di tangannya beliau menenteng sebuah karung plastik. Tadinya, saya berpikir ibu ini akan membuang sampahnya juga, ternyata tidak. Yang beliau lakukan benar-benar terbalik 180 derajat dengan apa yang akan saya lakukan. Beliau mengais-ngais sampah yang terbuang untuk dimasukkan ke dalam karung plastiknya.

Saya terdiam, dan ya, saya masih memegang sampah saya. Saya memandang beliau, walaupun samar karena tidak ada penerangan. Saya menyempatkan diri untuk bertanya kepada Sang Hati. Mengapa selarut ini beliau masih mengumpulkan sampah yang mungkin akan ditukarnya dgn uang untuk makan? Apakah beliau tidak punya seseorang yg bisa mencarikan nafkah untuknya? Apakah beliau tidak punya anak untuk membantunya berbahagia menikmati masa tuanya? Dimana mereka?

Sang Hati masih saja diam, tidak bergeming, seperti saya yg tidak juga beranjak dan berusaha menjaga bulir-bulir air mata saya agar tidak jatuh keroyokan membasahi pipi.

"Maaf Neng, Neng mau buang sampah ya?"
Ucapan beliau dengan suara yg bergetar disertai pandangan yg sedikit ragu menyadarkan saya dari lamunan.
"Iya bu..."
"Kardusnya juga mau dibuang Neng?"
"Iya bu, saya udah ga pake lagi kardusnya."
"Boleh ibu ambil neng sampah ama kardusnya?"
"Oh, boleh bu, boleh (sambil melihat matanya yg nanar)."
"Terimakasih ya neng."
"Saya yang terimakasih bu."

Saya memberikan sampah saya kepada beliau dan tersenyum padanya. Cepat-cepat saya membalikkan tubuh saya, karena air mata saya sudah jatuh.
Saya berjalan pelan menuju rumah sambil mendengarkan Sang Hati berbicara, seolah menuntut gilirannya untuk didengarkan.
"Kamu pasti belajar sesuatu tadi, kamu pasti belajar bahwa bersyukur itu penting & sakral, walaupun harus bersyukur di atas kejenuhan kamu akan rutinitas atau hidup yang menurut kamu begitu-begitu saja. Berkacalah pada sosok yang mengambil sampahmu tadi, saya tahu beliau sangat lelah dan kedinginan, tidak seperti kita yang sebentar lagi akan menikmati pulau kapuk. Kita tidak pernah tahu berapa ribu langkah lagi yang akan beliau tempuh untuk sampai di rumahnya. Bersyukurlah bahwa kita diberikan sesuatu yang lebih..."

Sang Hati benar. Saya harus bersyukur. Saya harus menghargai bahwa kejenuhan juga bagian dari hidup, bagian yang memberi warna supaya tidak monoton.

Ya, bersyukur.


Sep 2010, V.