Sore ini saya mencuri tulis di kubikal kantor berukuran 2x1 meter.
Sebetulnya saya ingin lari ke tempat yang sunyi dan menulis disana.
Tadi malam hati saya biru sekali. Dan hujan tidak datang.
Saya menciptakan hujan saya sendiri. Menetes melalui mata saya. Mengalir menyusuri pipi. Lalu menguap bersama kesedihan.
Lalu tertidur.
Saya ingat pergurauan saya dengan seorang sahabat.
“Hidup ini kadang ga adil buat gw! Semua cewe bisa dengan gampangnya ngedapetin pasangan hidup, even mereka udah ga pada virgin, sering aborsi lagi. Belum lagi kalau ngeliat temen yg sudah punya pacar atau suami, tapi di belakang malah asyik-asyikan sama yang lain. Lah gw? Udah susah payah jadi perawan tingting, aktif bersosialisasi, kagak nemu-nemu jodoh juga!”
Saya pun berceloteh.
“Jangan bilang gitu ah sist, semua orang kan udah ada pasangannya masing-masing. Jodoh lu mungkin lagi dalam perjalanan kesini. Cuma doi kesininya ngendarain unta, makanya agak lama nyampenya. Santai aja lah. Saatnya bakal tiba kok.”
Kami pun tertawa lebar. Namun, saya tahu persis, sahabat saya serius merasakan ketidakadilannya.
Tadi malam saya berada di posisinya. Bukan, bukan karena saya tidak punya pasangan. Toh, saya sudah tidak lajang.
Saya merasa hidup tidak adil. Boleh kan?
Banyak orang diluar sana yang tidak perlu berjuang keras untuk hidup. Untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Tinggal merengek pada ibunya. Tinggal menadahkan tangan pada ayahnya. Tinggal memakan uang kantornya. Tinggal mengeruk kekayaan pacarnya.
Atau ada yang langsung ditumpahkan dari langit. Tidak akan habis sampai keturunan keduapuluh. Tinggal duduk santai menikmati.
Rasa-rasanya, rasa syukur saya terkikis. Mungkin karena kepala saya lebih banyak menengadah ke atas. Tanpa sudi dengan apa yang ada di bawah.
Saya memang manusia. Saya manusiawi. Kadang saya bisa bobrok. Kadang saya bisa lupa apa itu bersyukur.
Untung si syukur cepat kembali tadi pagi. Ketika ternyata saya, masih bisa bangun dan menghirup bau embun yang baru menari-nari di atas rumput.
Oh ya, hujan juga datang! Dia tahu saya menantikannya sepanjang malam. Dia menggulung kesedihan saya. Lalu membungkusnya rapat-rapat. Supaya saya tidak bisa membongkarnya lagi.
-Jakarta, Februari 2011, V-
No comments:
Post a Comment