9.28.2010

Si Marah


Semua manusia biasa dapat mengalami rasa marah dan melakukan kemarahan. Marah atas apa saja, marah dengan siapa saja, marah dimana saja. Marah karena ketidakdilan, marah karena adanya ketidaksesuaian, marah karena adanya pengkhianatan, marah karena tidak adanya kesepakatan, dan seterusnya, dan seterusnya.

Kemarahan mengundang peningkatan denyut jantung, tekanan darah, juga adrenalin. Ekspresi beragam pun dilahirkan atas jenis emosi yang satu ini.     

Saya yakin, beberapa diantara kita (termasuk saya juga tentunya), pernah memelihara Si Marah hingga bertahun-tahun lamanya. Saya tidak tahu apa yang Anda rasakan saat menampung Si Marah. Kalau saya, rasanya benar-benar campur aduk. Ada rasa puas karena dapat melampiaskan apa yang menjadi ketidaksukaan saya, ada rasa riang karena dapat membagikan ketidaksetujuan saya, tetapi ada juga ada rasa dimana saya merasa jengah karena harus memberikan spasi untuk Si Marah tinggal dan menguasai hati nurani.

Teman-teman saya pernah berbagi cerita.

Teman pertama, memutuskan memelihara Si Marah saat tahu kekasihnya meninggalkan dia untuk laki-laki lain. Teman kedua, melakukan hal yang sama ketika memergoki ibunya sedang bergandengan mesra dengan lelaki seumurnya. Teman ketiga, mengundang Si Marah saat kontrak kerjanya diputuskan tiba-tiba juga sepihak oleh atasan yang takut tersaingi. Teman keempat, dikhianati teman baiknya sendiri. Bahkan kisah teman kelima yang mengakrabi Si Marah sejak kisah cintanya tidak disetujui orangtua hanya karena perbedaan suku, sehingga kemudian dia menikah dengan lelaki pilihan orangtua yang sama sekali tidak dicintainya.

Peran Si Marah memang hebat. Dia mampu merayu manusia hanya dalam hitungan jentikan jari untuk disimpan. Lalu menjadi parasit. Lalu menyedot semua sugesti positif. Lalu membuat keterpurukan.

Saya belum punya nyali yang cukup untuk menyatakan apakah bersahabat dengan Si Marah adalah hal yang amat sangat benar jika dilakukan pada porsi yang pas. Saya juga belum mengumpulkan keberanian untuk mengatakan “Usirlah Si Marah!”, karena saya boleh dikategorikan sebagai orang yang sulit memaafkan kesalahan yang sifatnya keterlaluan. Yang saya rasakan hanyalah : lambat laun, lepas dari benar atau tidak, Si Marah pasti membuat kita rugi.

Pilihan memang selalu ada di tangan kita. Saya percaya, saya dan Anda selalu berusaha untuk marah dengan benar dan sesuai pada tempatnya. Lalu beranjak cepat meninggalkan kemarahan sebelum matahari terbenam, sehingga dia tidak punya waktu untuk menggerogoti kita.

Have an extraordinary day.


Jakarta, September 2010, V.


No comments:

Post a Comment