9.24.2010

Boleh Bu, Boleh...

Tadi malam (seperti malam-malam sebelumnya), saya pulang dari kantor bersama pria yang sudah menjadi teman tidur resmi saya selama hampir 7 bulan ini.Kami melewati jalan-jalan padat merayap yang menghiasi keletihan ibukota.

Sambil menunggu giliran kami untuk meneruskan perjalanan yang mengantri sedari tadi, saya bergumam, saya dan Sang Hati tepatnya. Saya ingin sekali berhenti dari rutinitas dan mengerjakan hal-hal yang baru diluar pekerjaan & kegiatan yang selama ini saya jalani.

Secara egois saya bercerita kepada Sang Hati. Apa yang saya dapat dgn bangun tiap pagi, menundukkan kepala sebentar berkomat-kamit mengucapkan syukur karena sudah dijagaNya, mandi, menyandangkan pakaian, menyiapkan sedikit kudapan, lalu berangkat ke gedung berlantai 8 di jajaran Jakarta Pusat. Tidak berhenti di situ saja, sesampainya di kantor, bekerja, makan siang, bekerja lagi, makan malam, pulang, melewati jalan yg sama seperti waktu pergi dari rumah, tiba di rumah, kadang-kadang mandi kadang-kadang tidak, mengganti sandang, browsing atau menonton film atau membaca karya penulis-penulis hebat, berdoa berdua memohon perlindungan sang Khalik, lalu terlelap hingga tidak tahu bahwa matahari sudah mengintip disela-sela kaca jendela.

Ya, hampir setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, setiap tahun, selalu berulang, menghantarkan sejumput kejenuhan, memproklamasikan segelintir kebosanan.

Sang Hati diam saja, tekun mendengarkan dan tidak mencoba untuk menjawab. Mungkin dia sedang berempati dengan apa yg saya rasakan.

Saya sedikit tersentak, ketika ada seorang pengemudi sepeda motor yang mencoba mengambil alur kami dengan kasar. Lamunan saya buyar, percakapan saya dengan Sang Hati pun terhenti.

Sesampainya di rumah saya memang melakukan hal-hal 'kerumahan' saya. Hanya saja, malam ini saya harus menambah 1 daftar pekerjaan yg sebetulnya tidak saya rencanakan sebelumnya.

Saya pergi ke tempat pembuangan sampah sementara yang tidak terlalu jauh dari rumah kami. Sambil membawa beberapa sampah basah yg saya tenteng di dalam plastik, saya juga mengikutsertakan kardus-kardus bekas hadiah pernikahan kami.
Sewaktu saya ingin meletakkan sampah-sampah itu, saya bertemu dengan seorang ibu paruh baya, menggunakan pakaian yg lusuh, dan di tangannya beliau menenteng sebuah karung plastik. Tadinya, saya berpikir ibu ini akan membuang sampahnya juga, ternyata tidak. Yang beliau lakukan benar-benar terbalik 180 derajat dengan apa yang akan saya lakukan. Beliau mengais-ngais sampah yang terbuang untuk dimasukkan ke dalam karung plastiknya.

Saya terdiam, dan ya, saya masih memegang sampah saya. Saya memandang beliau, walaupun samar karena tidak ada penerangan. Saya menyempatkan diri untuk bertanya kepada Sang Hati. Mengapa selarut ini beliau masih mengumpulkan sampah yang mungkin akan ditukarnya dgn uang untuk makan? Apakah beliau tidak punya seseorang yg bisa mencarikan nafkah untuknya? Apakah beliau tidak punya anak untuk membantunya berbahagia menikmati masa tuanya? Dimana mereka?

Sang Hati masih saja diam, tidak bergeming, seperti saya yg tidak juga beranjak dan berusaha menjaga bulir-bulir air mata saya agar tidak jatuh keroyokan membasahi pipi.

"Maaf Neng, Neng mau buang sampah ya?"
Ucapan beliau dengan suara yg bergetar disertai pandangan yg sedikit ragu menyadarkan saya dari lamunan.
"Iya bu..."
"Kardusnya juga mau dibuang Neng?"
"Iya bu, saya udah ga pake lagi kardusnya."
"Boleh ibu ambil neng sampah ama kardusnya?"
"Oh, boleh bu, boleh (sambil melihat matanya yg nanar)."
"Terimakasih ya neng."
"Saya yang terimakasih bu."

Saya memberikan sampah saya kepada beliau dan tersenyum padanya. Cepat-cepat saya membalikkan tubuh saya, karena air mata saya sudah jatuh.
Saya berjalan pelan menuju rumah sambil mendengarkan Sang Hati berbicara, seolah menuntut gilirannya untuk didengarkan.
"Kamu pasti belajar sesuatu tadi, kamu pasti belajar bahwa bersyukur itu penting & sakral, walaupun harus bersyukur di atas kejenuhan kamu akan rutinitas atau hidup yang menurut kamu begitu-begitu saja. Berkacalah pada sosok yang mengambil sampahmu tadi, saya tahu beliau sangat lelah dan kedinginan, tidak seperti kita yang sebentar lagi akan menikmati pulau kapuk. Kita tidak pernah tahu berapa ribu langkah lagi yang akan beliau tempuh untuk sampai di rumahnya. Bersyukurlah bahwa kita diberikan sesuatu yang lebih..."

Sang Hati benar. Saya harus bersyukur. Saya harus menghargai bahwa kejenuhan juga bagian dari hidup, bagian yang memberi warna supaya tidak monoton.

Ya, bersyukur.


Sep 2010, V.

No comments:

Post a Comment