Aku
dan dia dan gadis kecil kami.
Sembari
menunggu kemacetan terurai.
Saya
selalu menatap mata lelaki yang sudah hidup bersama saya selama enam tahun
lamanya ketika dia berucap-ucap.
Semua
yang dia katakan terdengar seperti bisikan belaka. Saya hanya memerhatikan
matanya yang jauh lebih banyak menyimpan cerita.
Cerita
marah. Cerita putus asa. Cerita gundah. Cerita letih. Cerita tak berdaya. Akan
tetapi ada sedikit selipan cerita tentang harapan.
Dan
itu buat saya lebih penting daripada semuanya.
Perubahan
selalu membawa manusia kepada dua pilihan. Menjadi lebih bahagia atau
sebaliknya. Menjadi lelaki yang sekarang lebih banyak bergantung kepada kondisi
kesehatan sembari harus melaksanakan tanggungjawab sebagai seseorang yang
berkomitmen bahwa semua yang dikerjakan sejajar dengan melayani Tuhan adalah
status yang cukup rumit untuknya. Dan di setiap doa-doa yang dipanjatkannya
bukan kesehatan instan yang dia minta, tetapi kekuatan untuk kami sehingga ini
semua dapat terlewati.
Saya
tercatat sebagai pengidap gangguan asam lambung sejak saya duduk di bangku
sekolah menengah pertama. Beranjak hingga saya menjejakkan kaki di perguruan
tinggi penyakit saya semakin parah. Semua teman-teman saya selalu punya julukan
saya si tukang pingsan. Jangankan terlambat mengunyah. Tertekan sedikit saja
saya akan berkawan akrab dengan si asam lambung yang naik tanpa kira-kira.
Sampai
tahun 2014 kemarin “teman” saya itu seringkali menghampiri. Bahkan dia tidak
lupa mengajak serta temannya yang bernama Vertigo. Lengkap sudah. Pertengahan
tahun 2014 adalah masa-masa yang sangat tidak mengenakkan karena saya berkutat
dengan mereka hingga berbulan-bulan lamanya. Saya sempat tidak bersuara karena
asam lambung membuat pita suara saya meradang. Dan beberapa kali tidak dapat
bangun karena semuanya berputar.
Hidup
dengan pengasihan Tuhan dan berserah (bukan menyerah) adalah kunci yang saya
pelajari sejak saat itu. Karena apapun yang mengganggu pikiran saya akan
berujung kepada melemahnya kondisi fisik saya. Saya belajar banyak
mendengarkan. Mendengarkan Tuhan. Menenangkan sekali rasanya.
Seringkali
masalah tidak berkurang kehebatannya. Bahkan sampai hari ini taringnya terus
terasah dan bertambah hebat tajamnya. Saya mengalami banyak sekali rintangan
yang luar biasa melelahkan. Tetapi yang sangat saya tidak percayai adalah tidak
satupun penyakit langganan saya “ngapel” kembali. Justru dalam dua tahun yang
sangat sangat sangat berat, tidak bersolusi, saya baik-baik saja! Tuhan baik
ya!
Saya
belajar bahwa sampai hidup kita berakhir akan selalu ada momok yang bernama
kesulitan. Apapun bentuknya. Biasanya saya akan memilih untuk menangis di malam
hari (ya, saya masih manusia), ketika anak gadis saya sudah bermimpi dan
membiarkan diri tertidur sembari berharap esok pasti akan lebih baik. Selalu
ada kekuatan supranatural yang tidak dapat saya ceritakan. Saya selalu punya
kekuatan baru untuk bangkit. Saya tahu benar Tuhan menjaga saya. Melegakan
saya.
Urusan persoalan selesai atau tidak nantinya, saya memilih untuk percaya
saja. Apapun yang kita alami tidak akan melebihi kapasitas kita. Tuhan selalu tahu
batas kesanggupan kita. Kita hanya ditunjuk untuk mengupayakan doa dan daya.
Belajar
berserah bukanlah hal yang mudah untuk saya. Seperti sedang memegang tumpukan
kertas berisikan ujian-ujian rumit, lalu berucap ingin menyerahkan semuanya
kepada sang Kunci Jawaban, tetapi ketika akan diselesaikan, kita memilih untuk
tetap memegang kertas-kertas tersebut. Tidak ada sinkronisasi di antara perkataan
dan keinginan. Nihil.
Saya
sadar, Tuhan menjadikan kami semakin hari semakin berisi. Makan makanan yang
keras. Bukan lagi susu, karena kami bukan bayi. Semua harus melalui proses
kunyah. Tidak ada lagi makanan yang langsung ditelan bulat-bulat. Setiap proses
punya ceritanya masing-masing. Dan akan punya esensi.
Sampai
berjumpa minggu depan ya!
-Jakarta, 280416, V-
No comments:
Post a Comment