2.22.2013

Orang Gila yang Waras



-google image-

Sebut saja kami kedatangan tamu istimewa.

Menginap beberapa malam (hingga malam tadi) di teras rumah tetangga yang baru saja pindah ke sisi ibukota yang lain.

Kami tidak menyadari kehadirannya. Pada awalnya. Namun, beberapa jenis 'kesibukan' yang dilakukan beliau mengundang perhatian. Terutama saya dan keluarga, yang paling dekat posisinya.

Mulai dari menghidupkan rokok kretek, menyusun perca koran untuk peraduan, hingga melantunkan lagu awal tahun delapan puluhan. Seolah menghiasi kesendiriannya.

Semua orang memanggilnya dengan julukan ORANG GILA. Saya tidak demikian. Karena menurut saya beliau tidak segila orang-orang yang justru waras (sewaras-warasnya). Beliau masih dapat berjalan ke toko depan dan membeli (MEMBELI bukan MEMINTA) barang yang dia inginkan. Dan uangnya didapat dengan boleh-dibilang-mengatur lalu lalang kendaraan di sekitar kompleks ini. Walaupun dengan pakaian yang sangat compang-camping, bahkan (maaf) kadang tak berpakaian. Ada saja yang menaruh iba kepadanya. Menjatuhkan beberapa uang kecil atau memberikan beliau makanan. Dari situlah saya tahu bahwa dia tidak pernah meminta atau merampas. Dia BEKERJA untuk kelangsungan hidupnya, meskipun dengan kondisi yang sedikit terganggu. Tidak gila bukan? Seperti para koruptor tak bernurani yang tega merampas hak orang lain? Tolong koreksi kalau saya salah.

Beberapa hari yang lalu, hujan turun. Deras sekali. Dan beliau berteriak sangat kencang. Berulang-ulang. Otomatis saya dan hampir semua tetangga disini terbangun. Mantan pacar saya memerhatikan beliau dari jendela. Lalu, tercekatlah saya ketika si tampan ini berkata "Ma, He is praying to God, to stop the rain. He lifts up his hands and shout!"
Kami terdiam. Dan hanya saling memandang.

Air mata saya meleleh. Dan saya berdoa malam itu. Saya tidak meminta agar hujan berhenti, karena saya yakin, mungkin ada yang membutuhkan hujan di luar sana. Saya hanya meminta Sang Khalik memeluknya, sehingga kehangatan kasur nan empuk dan keluarga yang utuh, dapat beliau rasakan juga. Dan Sang Maha Adil itu menjawab doa saya. Hujan pun terhenti. Entah mengapa. Tetapi saya yakin rasa sayang untuk semua makhluk yang DIA ciptakan adalah sama.

Setelah kejadian itu berlangsung, semua orang membicarakan beliau. Ada yang mulai beropini untuk mengusirnya. Ada juga yang ingin menyiram beliau apabila mulai gaduh. Bahkan ada yang lebih konyol, berencana menaruh oli bekas di sepanjang teras tersebut, supaya licin dan beliau tidak akan berminat tidur disitu lagi. Betul kan? Siapa yang sebenarnya menurut Anda GILA? Yang dianggap gila atau yang bangga menyebut diri mereka waras? Apakah sudah tidak ada solusi yang lebih manusiawi?

Perenungan yang berharga buat saya. Terlebih saat Adzan Subuh mulai dikumandangkan keesokan harinya. Beliau ikut melantunkan ayat-ayat suci persis seperti bunyi Adzan tersebut. Dan, menurut saya, jauh lebih merdu daripada (maaf) orang waras yang sering ngendon di rumah ibadat manapun. Saya memang tidak mengerti apa arti lantunannya. Tetapi (sekali lagi) saya meneteskan air mata disaat yang sama. Di tengah 'kegilaannya', beliau masih waras untuk mengucapkan syukur kepada Penciptanya. Bagaimana dengan kita? Cukup sadarkah kita untuk (setidaknya) berterimakasih atas segala sesuatu?

Saya akan akhiri tulisan saya kali ini dengan menuliskan sebuah lirik lagu yang 'wah' buat saya. Tiap kali saya menemani putri saya sekolah minggu, lagu ini kerap dinyanyikan. Ya, sebuah lagu anak-anak. Sederhana sekali. Namun, untuk saya pribadi, lagu ini lebih dari sekadar 'modest'. Gaungnya nyata dalam kehidupan saya. Semoga kita dapat menghargai pemeliharaan Sang Khalik atas hidup kita.

Seperti bapak GILA yang WARAS.

Burung pipit tidak menanam, tapi Tuhan b'ri makan...
Bunga bakung tidak memintal, tapi Tuhan dandani...
Terlebih aku, anak-anaknya, pasti Tuhan p'lihara...
Terlebih aku, anak-anaknya, pasti Tuhan berkati...


-Jakarta, Feb 2013, V-

No comments:

Post a Comment