Saya sudah tidak ingat berapa lama saya tidak menggurat laman kosong pada layar berukuran 14 inci ini. Waktu seakan tidak pernah cukup sejak saya resmi menjabat predikat ibu rumah tangga. 24 jam. Seharian. Penuh.
Pernahkah kamu menyadari
bahwa tiba-tiba saja langit menjadi redup? Bukan karena mendung tentunya.
Tetapi karena malam menghampiri. Padahal siang baru saja menjejakkan kakinya ke
bumi.
Waktu itu sifatnya
mutlak. Pasti. Tidak dapat diulang. Dan setiap memori yang singgah juga
bersinggungan akan berlalu seiring dengan kepergian Waktu. Waktu juga membuat
tanda bahwa semua yang kita jalani adalah fana. Semua akan berakhir. Segera!
Saya tidak ingin sok
menakut-nakuti. Toh, saya juga tidak punya bayangan apa-apa tentang akhir dari Waktu.
Hari ini entah mengapa
saya betul-betul memikirkan bagaimana Waktu bisa bekerja keras. Mengusung semua
memori ke dalam otak juga benak. Memori baik atau buruk.
Waktu sanggup mengubah
detik demi detik menjadi peristiwa yang tak akan terulang lagi. Dan kali ini
saya tidak tahu harus dikategorikan kepada memori bagian manakah peristiwa yang
sangat memukul semua orang dengan sadis. Saya sadar sepenuhnya bahwa saya tidak
punya otoritas untuk menolak pekerjaan Waktu dan penciptaNya.
Berawal ketika Waktu
menibakan saya pada hari Rabu. 9 Mei 2012. Waktu memberikan informasi bahwa dia
akan membawa saya pada peristiwa kehilangan. Kehilangan seorang panutan. Waktu membiarkan
saya tekun mengikuti semua kejadian yang dapat saya ikuti hanya lewat media
massa dan elektronik. Tak ketinggalan informasi dari sahabat-sahabat terdekat. Saya
masih berharap bahwa Waktu akan mempertemukan saya (terlebih panutan saya)
dengan Si Mujizat. Ternyata, hari itu, Waktu tidak berbaik hati.
Lalu, tiba pada hari
Kamis. 10 mei 2012. Waktu memberikan fakta bahwa Sang Khalik punya kehendak
lain. Pesawat yang ditumpangi oleh panutan saya telah ditemukan jatuh di sebuah
gunung. Dengan nyali yang tinggal sedikit saya masih berhasrat Waktu punya dispensasi
agar pertemuan dengan Si Mujizat terlaksana. Hasilnya sama. Nihil.
Seakan tak lelah, Waktu
mengajak saya beralih dengan cepat kepada Jumat. 11 Mei 2012. Waktu memilihkan
saya momen yang sangat tidak ingin diterima dengan lapang. Bahwa tidak ditemukannya
korban selamat membuat kaki ini seperti tidak sedang berpijak. Pupus adalah
kata yang paling tepat untuk menggambarkan situasi yang diberikan Waktu. Walaupun,
sekali lagi, saya memang tidak punya hak tolak kepada Sang Khalik atas semua
kuasa yang dilakukannya. Saya hanya mampu menerima, menyuarakan tangis dan
bertanya kepada benak. Mengapa semua ini dipaparkan Waktu tanpa jeda?
Datanglah Sabtu. 12 Mei
2012. Saya dan beberapa orang sahabat mengunjungi rumah Sang Panutan di Bandung.
Kami memang terlihat seperti sedang mengadakan reuni akbar. Sesungguhnya sama
sekali tidak. Dalam diam saya mengenang, Sang Panutan selalu seperti ini, suka
kalau kami itu satu. Kumpul dalam simpul kasih yang senantiasa beliau perlihatkan.
Walaupun alasan kami terkumpul bukan dalam rangka bersenang-senang tentunya.
Akhirnya ada sedikit
alasan untuk senang dengan Waktu. Ajakannya pergi ke beberapa memori baik yang
pernah dilalui dengan beliau dan keluarga, saya patuhi dengan senang hati.
Saya kagum ketika saya
sampai pada memori dimana beliau selalu menjaga integritasnya sebagai manusia
mulia. Tidak muluk-muluk. Tidak berucap diluar koridor tatakrama. Rendah hati.
Murah senyum. Disiplin. Hobi bersenda gurau dengan siapapun. Tidak menganggap
orang muda itu sepele. Selalu punya ilmu untuk dibagi. Mesra dengan istri juga
buah hati. Dan masih ada lusinan fakta yang tidak pernah akan cukup saya
uraikan. Perwujudan buah-buah kasih itu nyata dalam tingkah lakunya. Sehingga,
sejak awal saya tidak ragu menyebutnya sebagai Sang Panutan.
Beberapa malam sebelum
saya menulis cerita ini, saya kurang bisa mengatur otak saya untuk beralih dari
kenangan-kenangan tentang beliau. Saya memang bukan siapa-siapa. Saya hanyalah
orang yang pernah belajar banyak tentang hidup dari beliau dan keluarganya. Bahkan
semangat di kala Waktu menghadapkan saya dengan kekecewaan. Dan saya yakin,
porsi memori tentang beliau dimiliki semua orang (yang kenal dengan beliau)
dalam kuota yang besar.
Dan sudah pasti, kami sangat
kehilangan beliau. Waktu benar-benar menunjukkan kapasitasnya sebagai asisten
Sang Khalik dalam mengatur putaran takdir.
"Saya tetap berdoa ada
keajaiban Tuhan. Saya tetap berharap Kornel survive. Sampai ada hasil
identifikasi selesai dan ada berita yang pasti. Life must go on. Anak-anak harus
sekolah, saudara-saudara harus bekerja. Saya akan pakai waktu menanti dengan
mengumpulkan tulisan-tulisan Kornel untuk membuat buku. Saya dapat kuat dan
sabar semata-mata karena Tuhan dan dukungan saudara, teman, dan semua orang yg
selama ini berdoa untuk saya dan anak-anak. Jadi teruslah berdoa." (Indriati Ayub Sihombing)
Cuilan kalimat
yang diutarakan istri beliau dengan tegar menjadikan tulisan saya malam ini bermakna.
Iman yang beliau miliki membuat saya bergetar. Salut untuknya! Doa yang dipanjatkannya
membawa Waktu berhenti sejenak. Bernafas dengan panjang. Memahami bahwa semua
adalah pemberian Sang Khalik. Dan semuanya baik.
Salam rindu untukmu Bang Onye…
Sampai berjumpa lagi…
Waktu akan mempertemukan kita
semua…
-Jakarta, Mei 2012, 1.21 AM, V-
No comments:
Post a Comment