-google image-
Saya baru saja tersadar. Sudah lama tidak menjenguk blog saya.
Tahun 2013 adalah kala terakhir.
Ah, rasa-rasanya sudah banyak sekali hal
yang tidak saya bagi.
Walaupun malam ini saya juga tidak tahu
persis apa yang ingin saya bagi.
Saya hanya rindu saja sebenarnya. Membaca
beberapa tulisan saya sebelumnya membuat saya terusik.
Hari ini kami tidak kemana-mana. Menikmati
hujan dan aroma rumput yang basah, sesekali bercengkrama, memunguti kudapan
yang hangat, dan mengamati jumlah nyamuk yang semakin malam semakin
banyak jumlahnya.
Terbersit di dalam benak saya, betapa
sibuknya nyamuk-nyamuk ini mengumpulkan isapan darah dari tubuh manusia. Walaupun
mereka tahu sebuah risiko : tubuh mereka yang kecil akan hancur apabila tangan
sang manusia saling bertepuk.
Sama saja dengan manusia. Semua
keputusan memiliki risiko tersendiri.
Jika ingin bertahan,
risiko harus ditelan.
Toh, risiko dapat
diminimalisir bukan?
Dulu saya memiliki
ketakutan tersendiri ketika anak saya meminta waktu untuk bermain di luar rumah.
Walaupun saya awasi. Ada beberapa anak yang memang suka berlaku sedikit tidak
lazim kepada anak saya atau anak lain yang ditemuinya. Mencelakakan tanpa tahu
bahwa itu merugikan orang lain sudah biasa mereka lakukan.
Hingga pada akhirnya
saya disadarkan oleh mantan pacar saya, bahwa saya harus melatih anak saya
untuk terbiasa dengan risiko. Risiko dikecewakan, risiko disakiti, risiko
dicemooh, risiko tidak dihargai, dan sebagainya. Dalam batas yang wajar saya membiarkan
anak saya menghadapi semua risiko tersebut. Saya akan membantunya bangkit setelah
dia mengalami pengalaman buruknya ketika terjun bersosialisasi dengan keluarga
atau teman-temannya.
Kalimat pamungkas
saya cuma satu (jika diterjemahkan ke dalam bahasa dewasa) : “nak, kamu akan lebih banyak lagi bertemu
dengan orang yang culas diluar sana, tidak semua orang akan baik kepadamu,
jadi, yang tidak baik tidak perlu kamu contoh.”
Biasanya raut
wajahnya akan kecewa, karena sepertinya saya tidak sedang membela dia. Yang
selalu saya syukuri, hati anak-anak tidak menyimpan dendam, sehingga setelah
kejadian buruk berlalu, dia akan kembali bermain bersama teman-teman yang
menyakitinya. Hanya saja, dia jauh lebih berhati-hati.
Mempersiapkan buah
hati saya untuk menghadapi sebuah risiko bukanlah hal yang sepele. Karena saya
sendiri seringkali tidak siap apabila bertemu dengan kekecewaan.
Kalau saya sudah
mulai kecewa, saya selalu ingat perkataan mantan pacar saya. “Mulai kita bangun pagi hingga kita kembali
tidur, akan selalu ada masalah. Jangan pernah menimbang masalah kita dengan
orang lain atau mengharapkan orang lain mengalami masalah yang sama dengan kita.
Sehingga dia mengerti bahwa kita sedang kecewa. Karena setiap orang diuji
sesuai kekuatannya dan masalah mereka sama beratnya dengan masalah yang sedang
kita hadapi. Hanya bentuk permasalahannya yang berbeda. Dan setiap orang pasti
punya cara untuk mengatasinya. Pilihan kita adalah kita mau bangkit atau tetap
pada zona kecewa, sehingga energi kita terkuras dan pada akhirnya mendapati
diri kita tidak berguna. Yang lebih konyol adalah, disaat kamu kecewa, belum
tentu orang yang mengecewakan kamu sadar bahwa kamu kecewa. Atau ingatlah bahwa
kita mungkin sedang berlaku hal yang sama kepada orang lain.”
Cukup membuat bekas
pada benak. Membuat kuat juga awas.
Semoga kita lapang.
Semoga kita sanggup. Semoga kita bahagia.