-google image-
Katakanlah saya memang ingin mengungkapkan buncahan pemikiran
yang terlewat.
Saat saya membaca beberapa selentingan milik kerabat
tentang banjir yang merundungi ibukota. Beragam tentunya. Yang menarik
perhatian adalah yang tidak bermuatan empati.
“Once
in five years, Jakarta Waterpark, Don’t miss it!”
“Makanya,
udah dari dulu harusnya ibukota dipindahin aja ke Palangkaraya, Soekarno aja
maunya begitu.”
Buat saya, komentar di atas sama dangkalnya (atau
lebih tepat, sama kurangajarnya) dengan yang berikut ini.
“Biarin
aja itu orang-orang US ngerasain Sandy (Superstorm Sandy) kali-kali. Banyak
dosanya sih.”
Atau ini.
“Ya
ampuunnn, kok lo asik sendiri sama bb (Blackberry) lo. Gaul banget lo ya,
segaul ARTIS deh. Arek Autis.”
Sebenar-benarnya
bukan hak saya juga untuk mengomentari kembali apa yang telah terlontar dari (maaf)
kekonyolan mereka. Hanya “kagum”.
Disaat orang lain sedang kedinginan tanpa
sandang,pangan, dan papan yang layak, masih ada kicauan sumbang soal banjir (dan
saya berani bertaruh, mereka juga tidak tergerak untuk membantu).
Disaat orang lain kehilangan keluarga dan
orang-orang yang disayangi ketika badai Sandy
melanda, muncul pernyataan tidak wajar (toh saya rasa beliau ini tidak ada
hubungannya dan tidak pernah dirugikan secara langsung oleh US, bahkan menggunakan dan menikmati apa
yang sudah diciptakan US). Walaupun US buat saya juga tidak spesial. Sama
saja.
Disaat di luar sana banyak orangtua yang berjuang
untuk merawat dan mendidik anak-anak dengan keistimewaan ADHD, ada yang berlomba membuat bahan guyonan tanpa sadar bahwa
pembalasan itu hakiki.
Bagaimana dengan kita? Apakah masih ada tempat di
hati kita untuk Sang Empati? Apakah masih ada rasa iba ketika dipertontonkan sesama
yang bersusah payah? Apakah kata-kata buruk yang meluncur dari mulut kita
membuat kita jauh berbahagia?
Mantan pacar saya berbagi sesuatu tadi malam.
Manusia itu diciptakan sempurna. Diberikan kehendak bebas oleh Sang Khalik.
Apapun dapat kita utarakan atau kita lakukan. Persoalannya hanya terletak pada
aturan. Bagaimana kita mengatur agar apa yang keluar dari liang mulut kita
adalah yang keluar juga dari hati kita. Karena apa yang keluar dari hati akan
tiba ke hati.
Dan itu bukanlah pekerjaan yang mudah.
Saya dan Anda akan terus belajar bijak dalam
berkata-kata. Karena ucapan punya kuasa. Kendalikanlah kekuasaan yang diberikan
pada kita atau kekuasaan itu pulalah yang akan menghancurkan kita.
-Jakarta,
Januari 2013, V-
PS
: Thank you pop sudah berbagi dengan saya. Love.