1.21.2013

Empati

-google image-


Katakanlah saya memang ingin mengungkapkan buncahan pemikiran yang terlewat.

Saat saya membaca beberapa selentingan milik kerabat tentang banjir yang merundungi ibukota. Beragam tentunya. Yang menarik perhatian adalah yang tidak bermuatan empati.

“Once in five years, Jakarta Waterpark, Don’t miss it!”

“Makanya, udah dari dulu harusnya ibukota dipindahin aja ke Palangkaraya, Soekarno aja maunya begitu.”

Buat saya, komentar di atas sama dangkalnya (atau lebih tepat, sama kurangajarnya) dengan yang berikut ini.

“Biarin aja itu orang-orang US ngerasain Sandy (Superstorm Sandy) kali-kali. Banyak dosanya sih.”

Atau ini.

“Ya ampuunnn, kok lo asik sendiri sama bb (Blackberry) lo. Gaul banget lo ya, segaul ARTIS deh. Arek Autis.”

Sebenar-benarnya bukan hak saya juga untuk mengomentari kembali apa yang telah terlontar dari (maaf) kekonyolan mereka. Hanya “kagum”.

Disaat orang lain sedang kedinginan tanpa sandang,pangan, dan papan yang layak, masih ada kicauan sumbang soal banjir (dan saya berani bertaruh, mereka juga tidak tergerak untuk membantu).

Disaat orang lain kehilangan keluarga dan orang-orang yang disayangi ketika badai Sandy melanda, muncul pernyataan tidak wajar (toh saya rasa beliau ini tidak ada hubungannya dan tidak pernah dirugikan secara langsung oleh US, bahkan menggunakan dan menikmati apa yang sudah diciptakan US). Walaupun US buat saya juga tidak spesial. Sama saja.

Disaat di luar sana banyak orangtua yang berjuang untuk merawat dan mendidik anak-anak dengan keistimewaan ADHD, ada yang berlomba membuat bahan guyonan tanpa sadar bahwa pembalasan itu hakiki.

Bagaimana dengan kita? Apakah masih ada tempat di hati kita untuk Sang Empati? Apakah masih ada rasa iba ketika dipertontonkan sesama yang bersusah payah? Apakah kata-kata buruk yang meluncur dari mulut kita membuat kita jauh berbahagia?

Mantan pacar saya berbagi sesuatu tadi malam. Manusia itu diciptakan sempurna. Diberikan kehendak bebas oleh Sang Khalik. Apapun dapat kita utarakan atau kita lakukan. Persoalannya hanya terletak pada aturan. Bagaimana kita mengatur agar apa yang keluar dari liang mulut kita adalah yang keluar juga dari hati kita. Karena apa yang keluar dari hati akan tiba ke hati.

Dan itu bukanlah pekerjaan yang mudah.

Saya dan Anda akan terus belajar bijak dalam berkata-kata. Karena ucapan punya kuasa. Kendalikanlah kekuasaan yang diberikan pada kita atau kekuasaan itu pulalah yang akan menghancurkan kita.



-Jakarta, Januari 2013, V-



PS : Thank you pop sudah berbagi dengan saya. Love.

2 comments:

  1. Salam saya buat mantan pacarmu, ehemmm...Thx 4 share non d^^D Sering2 nulis dunk, aku suka baca tulisanmu.

    ReplyDelete
  2. @mega : makasih sayang,selalu mampir dan baca2...aku ga serajin kmu nulisnya say,klo mood aja,hehe..
    Nanti slmnya dsampein ya sis...
    Gbu

    ReplyDelete