4.28.2016

Learn More



-google images-


Sepanjang jalan menuju rumah kami terlibat dalam pembicaraan yang cukup panjang.

Aku dan dia dan gadis kecil kami.

Sembari menunggu kemacetan terurai.

Saya selalu menatap mata lelaki yang sudah hidup bersama saya selama enam tahun lamanya ketika dia berucap-ucap.

Semua yang dia katakan terdengar seperti bisikan belaka. Saya hanya memerhatikan matanya yang jauh lebih banyak menyimpan cerita.

Cerita marah. Cerita putus asa. Cerita gundah. Cerita letih. Cerita tak berdaya. Akan tetapi ada sedikit selipan cerita tentang harapan.

Dan itu buat saya lebih penting daripada semuanya.

Perubahan selalu membawa manusia kepada dua pilihan. Menjadi lebih bahagia atau sebaliknya. Menjadi lelaki yang sekarang lebih banyak bergantung kepada kondisi kesehatan sembari harus melaksanakan tanggungjawab sebagai seseorang yang berkomitmen bahwa semua yang dikerjakan sejajar dengan melayani Tuhan adalah status yang cukup rumit untuknya. Dan di setiap doa-doa yang dipanjatkannya bukan kesehatan instan yang dia minta, tetapi kekuatan untuk kami sehingga ini semua dapat terlewati.

Saya tercatat sebagai pengidap gangguan asam lambung sejak saya duduk di bangku sekolah menengah pertama. Beranjak hingga saya menjejakkan kaki di perguruan tinggi penyakit saya semakin parah. Semua teman-teman saya selalu punya julukan saya si tukang pingsan. Jangankan terlambat mengunyah. Tertekan sedikit saja saya akan berkawan akrab dengan si asam lambung yang naik tanpa kira-kira.

Sampai tahun 2014 kemarin “teman” saya itu seringkali menghampiri. Bahkan dia tidak lupa mengajak serta temannya yang bernama Vertigo. Lengkap sudah. Pertengahan tahun 2014 adalah masa-masa yang sangat tidak mengenakkan karena saya berkutat dengan mereka hingga berbulan-bulan lamanya. Saya sempat tidak bersuara karena asam lambung membuat pita suara saya meradang. Dan beberapa kali tidak dapat bangun karena semuanya berputar.

Hidup dengan pengasihan Tuhan dan berserah (bukan menyerah) adalah kunci yang saya pelajari sejak saat itu. Karena apapun yang mengganggu pikiran saya akan berujung kepada melemahnya kondisi fisik saya. Saya belajar banyak mendengarkan. Mendengarkan Tuhan. Menenangkan sekali rasanya.

Seringkali masalah tidak berkurang kehebatannya. Bahkan sampai hari ini taringnya terus terasah dan bertambah hebat tajamnya. Saya mengalami banyak sekali rintangan yang luar biasa melelahkan. Tetapi yang sangat saya tidak percayai adalah tidak satupun penyakit langganan saya “ngapel” kembali. Justru dalam dua tahun yang sangat sangat sangat berat, tidak bersolusi, saya baik-baik saja! Tuhan baik ya!

Saya belajar bahwa sampai hidup kita berakhir akan selalu ada momok yang bernama kesulitan. Apapun bentuknya. Biasanya saya akan memilih untuk menangis di malam hari (ya, saya masih manusia), ketika anak gadis saya sudah bermimpi dan membiarkan diri tertidur sembari berharap esok pasti akan lebih baik. Selalu ada kekuatan supranatural yang tidak dapat saya ceritakan. Saya selalu punya kekuatan baru untuk bangkit. Saya tahu benar Tuhan menjaga saya. Melegakan saya. 

Urusan persoalan selesai atau tidak nantinya, saya memilih untuk percaya saja. Apapun yang kita alami tidak akan melebihi kapasitas kita. Tuhan selalu tahu batas kesanggupan kita. Kita hanya ditunjuk untuk mengupayakan doa dan daya.

Belajar berserah bukanlah hal yang mudah untuk saya. Seperti sedang memegang tumpukan kertas berisikan ujian-ujian rumit, lalu berucap ingin menyerahkan semuanya kepada sang Kunci Jawaban, tetapi ketika akan diselesaikan, kita memilih untuk tetap memegang kertas-kertas tersebut. Tidak ada sinkronisasi di antara perkataan dan keinginan. Nihil.

Saya sadar, Tuhan menjadikan kami semakin hari semakin berisi. Makan makanan yang keras. Bukan lagi susu, karena kami bukan bayi. Semua harus melalui proses kunyah. Tidak ada lagi makanan yang langsung ditelan bulat-bulat. Setiap proses punya ceritanya masing-masing. Dan akan punya esensi.

Sampai berjumpa minggu depan ya!


-Jakarta, 280416, V-