5.15.2012

Waktu (Tribute to Bang Onye-Kornel M. Sihombing)




Saya sudah tidak ingat berapa lama saya tidak menggurat laman kosong pada layar berukuran 14 inci ini. Waktu seakan tidak pernah cukup sejak saya resmi menjabat predikat ibu rumah tangga. 24 jam. Seharian. Penuh.

Pernahkah kamu menyadari bahwa tiba-tiba saja langit menjadi redup? Bukan karena mendung tentunya. Tetapi karena malam menghampiri. Padahal siang baru saja menjejakkan kakinya ke bumi.

Waktu itu sifatnya mutlak. Pasti. Tidak dapat diulang. Dan setiap memori yang singgah juga bersinggungan akan berlalu seiring dengan kepergian Waktu. Waktu juga membuat tanda bahwa semua yang kita jalani adalah fana. Semua akan berakhir. Segera!

Saya tidak ingin sok menakut-nakuti. Toh, saya juga tidak punya bayangan apa-apa tentang akhir dari Waktu.

Hari ini entah mengapa saya betul-betul memikirkan bagaimana Waktu bisa bekerja keras. Mengusung semua memori ke dalam otak juga benak. Memori baik atau buruk.

Waktu sanggup mengubah detik demi detik menjadi peristiwa yang tak akan terulang lagi. Dan kali ini saya tidak tahu harus dikategorikan kepada memori bagian manakah peristiwa yang sangat memukul semua orang dengan sadis. Saya sadar sepenuhnya bahwa saya tidak punya otoritas untuk menolak pekerjaan Waktu dan penciptaNya.

Berawal ketika Waktu menibakan saya pada hari Rabu. 9 Mei 2012. Waktu memberikan informasi bahwa dia akan membawa saya pada peristiwa kehilangan. Kehilangan seorang panutan. Waktu membiarkan saya tekun mengikuti semua kejadian yang dapat saya ikuti hanya lewat media massa dan elektronik. Tak ketinggalan informasi dari sahabat-sahabat terdekat. Saya masih berharap bahwa Waktu akan mempertemukan saya (terlebih panutan saya) dengan Si Mujizat. Ternyata, hari itu, Waktu tidak berbaik hati.

Lalu, tiba pada hari Kamis. 10 mei 2012. Waktu memberikan fakta bahwa Sang Khalik punya kehendak lain. Pesawat yang ditumpangi oleh panutan saya telah ditemukan jatuh di sebuah gunung. Dengan nyali yang tinggal sedikit saya masih berhasrat Waktu punya dispensasi agar pertemuan dengan Si Mujizat terlaksana. Hasilnya sama. Nihil.

Seakan tak lelah, Waktu mengajak saya beralih dengan cepat kepada Jumat. 11 Mei 2012. Waktu memilihkan saya momen yang sangat tidak ingin diterima dengan lapang. Bahwa tidak ditemukannya korban selamat membuat kaki ini seperti tidak sedang berpijak. Pupus adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan situasi yang diberikan Waktu. Walaupun, sekali lagi, saya memang tidak punya hak tolak kepada Sang Khalik atas semua kuasa yang dilakukannya. Saya hanya mampu menerima, menyuarakan tangis dan bertanya kepada benak. Mengapa semua ini dipaparkan Waktu tanpa jeda?

Datanglah Sabtu. 12 Mei 2012. Saya dan beberapa orang sahabat mengunjungi rumah Sang Panutan di Bandung. Kami memang terlihat seperti sedang mengadakan reuni akbar. Sesungguhnya sama sekali tidak. Dalam diam saya mengenang, Sang Panutan selalu seperti ini, suka kalau kami itu satu. Kumpul dalam simpul kasih yang senantiasa beliau perlihatkan. Walaupun alasan kami terkumpul bukan dalam rangka bersenang-senang tentunya.

Akhirnya ada sedikit alasan untuk senang dengan Waktu. Ajakannya pergi ke beberapa memori baik yang pernah dilalui dengan beliau dan keluarga, saya patuhi dengan senang hati.

Saya kagum ketika saya sampai pada memori dimana beliau selalu menjaga integritasnya sebagai manusia mulia. Tidak muluk-muluk. Tidak berucap diluar koridor tatakrama. Rendah hati. Murah senyum. Disiplin. Hobi bersenda gurau dengan siapapun. Tidak menganggap orang muda itu sepele. Selalu punya ilmu untuk dibagi. Mesra dengan istri juga buah hati. Dan masih ada lusinan fakta yang tidak pernah akan cukup saya uraikan. Perwujudan buah-buah kasih itu nyata dalam tingkah lakunya. Sehingga, sejak awal saya tidak ragu menyebutnya sebagai Sang Panutan.

Beberapa malam sebelum saya menulis cerita ini, saya kurang bisa mengatur otak saya untuk beralih dari kenangan-kenangan tentang beliau. Saya memang bukan siapa-siapa. Saya hanyalah orang yang pernah belajar banyak tentang hidup dari beliau dan keluarganya. Bahkan semangat di kala Waktu menghadapkan saya dengan kekecewaan. Dan saya yakin, porsi memori tentang beliau dimiliki semua orang (yang kenal dengan beliau) dalam kuota yang besar.

Dan sudah pasti, kami sangat kehilangan beliau. Waktu benar-benar menunjukkan kapasitasnya sebagai asisten Sang Khalik dalam mengatur putaran takdir.

"Saya tetap berdoa ada keajaiban Tuhan. Saya tetap berharap Kornel survive. Sampai ada hasil identifikasi selesai dan ada berita yang pasti. Life must go on. Anak-anak harus sekolah, saudara-saudara harus bekerja. Saya akan pakai waktu menanti dengan mengumpulkan tulisan-tulisan Kornel untuk membuat buku. Saya dapat kuat dan sabar semata-mata karena Tuhan dan dukungan saudara, teman, dan semua orang yg selama ini berdoa untuk saya dan anak-anak. Jadi teruslah berdoa." (Indriati Ayub Sihombing)

Cuilan kalimat yang diutarakan istri beliau dengan tegar menjadikan tulisan saya malam ini bermakna. Iman yang beliau miliki membuat saya bergetar. Salut untuknya! Doa yang dipanjatkannya membawa Waktu berhenti sejenak. Bernafas dengan panjang. Memahami bahwa semua adalah pemberian Sang Khalik. Dan semuanya baik.

Salam rindu untukmu Bang Onye…

Sampai berjumpa lagi…

Waktu akan mempertemukan kita semua…


-Jakarta, Mei 2012, 1.21 AM, V-